Kamis, 25 Agustus 2011

Mutiara Dibalik Pendar Kelabu


Tiada hari tanpa tangisan, luka yang selalu ada mengikuti kami berdua sepanjang waktu, memaksa kaki untuk berlari tanpa henti di daerah yang bahkan tidak kukenal udaranya, dinginnya tetesan air langit kerap kali membasahi kami, tetapi senyumnya tak pernah pudar, senyum dari sahabat terbaikku, satu-satunya harta yang kumiliki saat ini.
Hari ini bukanlah hari keberuntungan kami, sedetikpun kami tak bisa tidur hari ini, suara peluru berdesing di sekitar kami, hal terbaik hari ini adalah setidaknya kami menemukan sebuah gudang yang cukup aman, yah, itu menurut sahabatku, tetapi menurutku tetap saja mengerikan berada di sini.
Tiap detik terdengar tangisan baru, hatiku mulai diselimuti ketakutan menyeluruh, dan sahabatku segera memegang kedua tanganku ketika ia tahu aku mulai takut meski kurasakan hal yang sama menyelubunginya.
Mungkin... telah satu jam kondisi ini berlangsung dan beberapa orang mendobrak pintu gudang, secepat kilat kami berdua bersembunyi di dalam kotak kayu yang cukup sempit, tetapi tetap saja sahabatku tersenyum untuk menenangkanku.
Langkah dari sepatu boot berlumpur terdengar begitu menakutkan di telinga kami dan kurasakan mereka berdiri tepat di samping kotak kayu tempat kami bersembunyi, aku melihat sahabatku mulai menangis pelan sementara aku sendiri penuh dengan keringat dingin dan... secara tiba-tiba, mereka membanting kotak kayu tempat kami bersembunyi ke arah tembok yang cukup kokoh, sehingga pecah dan tinggallah kami yang masih menggeliat kesakitan.
Aku tidak mengerti apa yang mereka ucapkan, aku tidak ingat jelas wajah mereka, yang aku ingat jelas adalah kami berdua selalu bergandengan tangan melewati menit-menit menegangkan itu “Lari” bisik sahabatku ketika ia melihat celah untuk lari sementara orang-orang di hadapan kami sedang memikirkan sesuatu yang jahat tentunya, dan tanpa menunggu lama, kami segera bangkit dan berlari sekuat tenaga.
Langkah kaki kami terasa lemas dan mulai melambat, tetapi harapan kami tiba ketika terlihat gerbang perbatasan, kuharap mereka menoleransi kami yang tampaknya satu bangsa dengan mereka untuk masuk.
Dan tampaknya harapanku terkabulkan, namun... ketika harapan telah datang, mereka yang dibelakang mulai menembaki kami, dan yang di depan membalas tembakan2 tersebut, terjebaklah kami dalam perang kecil yang menakutkan ini.
Kurasakan langkah kaki sahabatku telah lemas, segera saja aku menggendongnya sekuat tenaga, tinggal beberapa langkah lagi dan semuanya selesai.
Namun, sialnya... ketika hanya tinggal sedikit lagi, aku tersandung dan jatuh, tetapi dengan cepat sahabatku meraih tanganku dan akupun berdiri, tetapi... anehnya ia malah mendorongku ke balik punggungnya hingga aku kembali terjatuh dalam lumpur, dan beberapa detik kemudian, ia terjatuh di pangkuanku dengan darah mengalir dari dadanya, dengan hati teriris, aku segera membawanya ke tempat kering dan membaringkannya di pangkuanku.
Darah terus mengalir deras dari dadanya, aku mendekapnya erat “Tolong jangan pergi” bisikku terbata-bata dan air mata tiada bisa kutahan lagi, tanganku yang berlumuran darah terasa berat sekali untuk melepas genggamannya, tiada yang menolongku saat itu dan seolah-olah nyawa kami tiada harganya.
Yang paling kuingat adalah saat mendengar jantungnya yang kian melemah, dan nafasnya yang mulai sesak, aku tidak tahu harus berbuat apa, yang kubisa hanyalah menangis dalam kepedihan, dan di menit terakhir kulihat matanya terbuka, ia membisikkan sesuatu yang sangat berarti bagiku “A..aku..sa..sayang kamu selamanya” Bisiknya sekuat tenaga dan setelah itu ia telah tiada, aku tidak bisa mempercayai ini terjadi, ini terlalu berat! Tidak! Tuhan, ini tidak adil! Tapi, apa daya, inilah takdir pahit yang harus kutelan tanpa kehadiran sahabat sejatiku yang telah tenang di sisiNya.
Detik itu aku serasa mau pingsan, aku ingin berteriak tetapi suaraku telah tertelan, hanya tetesan deras air mata yang menetes di tubuh sahabatku, senyumnya masih tersimpan di hatiku, tawanya masih ada di setiap nafasku dan tangis bahagianya masih bisa kurasakan dalam darahku.
Aku tahu, aku telah bersalah banyak padanya dan belum sempat aku meminta maaf akan semuanya, tetapi ia tetap bersamaku, tetap tersenyum padaku di balik kelamnya daerah ini.
Selamat tinggal sahabatku, saudara terdekat yang paling kucintai, tenanglah di sisi Tuhan dan tunggulah aku berada di sana untuk kembali menikmati senyuman penuh syukurmu...
Meski susah kehidupan kelam tanpa senyumanmu, aku akan tetap berjuang untuk hidup yang telah kau selamatkan ini.

by: Kristina Andita Pradani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar