Selasa, 23 Agustus 2011

Lembutnya Duri Mawar


Pancaran terik matahari siang membakar tubuhku, kupercepat langkahku di jalanan sepi ini dan berharap untuk bisa sampai rumah lebih cepat di siang yang terasa seperti hasil kebocoran neraka.
Pikiranku terlalu kacau untuk mendinginkan tubuhku, apalagi saat memikirkan Nana, uh, anak yang sok mengatur-ngatur di kelasku, untung saja ia tidak menjadii ketua kelas, jika iya, pasti kelasku akan berasa seperti neraka, aku pun nggak paham apa sebenarnya maksudny, dan seperti biasa, tentu saja ada yang pro dan kontra, dan aku adalah anak yang masuk dalam golongan kontra.
Ah, untuk apa sih memikirkannya? Lebih baik kan memikirkan hal lain yang lebih enak, seperti es teh manis yang akan kuminum di rumah nanti.
Dan tanpa kusangka, sebuah sepeda tanpa rem melaju cepat ke arahku, kakkiku terpaku di tempatku berdiri meski kucoba melangkahkanku, dan beberapa detik sebelum sepeda itu menabrakku, aku hanya sempat melakukan gerakan refleks membungkuk dan menutupi kepalaku.
Bruaak.... suara tabrakan terdengar, tetapi... aku masih sehat-sehat saja, apa yang terjadi? Aku membuka mataku perlahan dan melihat ke sekelilingku, tampaklah tubuh seorang gadis tergeletak di samping tembok sementara pengemudi sepeda tadi mengerang kesakitan, tampaknya gadis itu telah menyelamatkanku.
Segera saja aku berlari ke arah gadis itu dan betapa terkejutnya aku, gadis itu tak lain tak bukan adalah Nana! Mungkin terik matahari telah benar-benar membakar otakku, tetapi saat kulihat kepalanya berdarah dan tak sadarkan diri, segera saja aku menggendongnya dan berlari membawanya ke rumah sakit terdekat, dan aku tidak lagi memikirkan siapa Nana saat ia di kelas tadi, dan juga pengemudi sepeda yang tampak masih baik-baik saja.
Setibanya di rumah sakit, para suster dengan sigap menolong Nana yang kondisinya tampak amat tidak berdaya, ingin rasanya kembali ke tempat tadi dan menghajar orang tersebut, entah mengapa, aku merasa amat peduli dengan Nana, musuhku sendiri, Duri di dalam kelasku.
Dua jam berlalu, menit-menit yang menegangkan berlalu sangat lambat, akankah harapanku mendapat kepastian? Apakah detik yang terus bergulir akan membawa secercah sinar? Semua kuserahkan pada Tuhan.
Terkejut aku dari lamunanku saat suara seorang dokter merobek belenggu ketidakpastian dari sejuta pertanyaan di benakku “Dok, bagaimana teman saya?” Tanyaku pasrah “Ia mengalami retak di tengkoraknya, untung saja kamu segera membawanya kemari” Jawab Dokter “Bisakah saya masuk?” Tanyaku, dokter hanya mengangguk dan aku segera berlari masuk.
Terhenti aku di depan pintu oleh perasaan lega dan ketakutan, tetapi tanganku memberanikan diri membuka pintu yang terasa amat berat itu.
Nana?” Bisikku pelan “Iya” Jawab Nana, aku segera tersenyum dan masuk ke dalam ruangan seraya mengambil duduk di dekat pembaringannya “Na, terimakasih ya” Kataku sambil tersenyum “Iya, nggak masalah kok” Kata Nana “Aku juga mau minta maaf, Na” Kataku sambil tertunduk menyesal “Kenapa?” Tanya Nana “Aku... merasa kalau kamu...eh, maksudku aku mengira kamu itu terlalu banyak mengatur” Jawabku “Oh, masalah itu. Tadi Rene, ketua kelas kita, asmanya sempat kambuh sebelum berangkat sekolah, dan anak-anak terlalu ramai, aku takutnya nanti Rene dimarahi guru dan ia pasti kesulitan menenangkan anak-anak” Kata Nana yang membuatku tersentak, pikiranku telah bertindak terlalu ceroboh untuk hal yang tidak-tidak “Na, kamu masih mau kan menjadi sahabatku?” Tanyaku “Tentu” Jawab Nana dengan senyum puas tergambar di wajah putihnya yang cantik, kuharap, persahabatan kita akan abadi dan kini aku akan belajar untuk berhati-hati sebelum berfikiran yang tidak-tidak.

by: Kristina Andita Pradani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar