Selasa, 23 Agustus 2011

Maaf Di Balik Kaca

Namanya juga manusia, mesti saja ada salahnya, tapi... kali ini tampaknya aku salah besar, mungkin saja Anne sedang dalam kondisi “bad mood” saat kusiram air di hari ulangtahunnya, meski dia nggak sampai basah kuyup, dia tampak amat marah dan ganti menyiramku dengan ember berisi air hingga aku basah kuyup lalu pergi begitu saja membuatku dan kelima temanku yang lain saling berpandangan heran.
Dugaanku tepat, dia memang marah padaku dan tidak mau kuajak bicara mesti rasanya aku ingin mendengar suaranya, tetap saja tidak ada yang kudengar, aku jadi merasa amat sangat tidak enak, jika menurutku, hal itu kan biasa saja terjadi dan sering terjadi padaku meski aku nggak berulang tahun.
Akhirnya, aku pun membiarkan dia diam hingga dua minggu, ah, sebel aku jadinya, meski demikian, aku juga berusaha tidak menyinggungnya dengan memilih untuk diam juga, padahal, ini kan saat-saat terakhirku bersekolah di sini, dua hari lagi aku akan pindah ke Jogja, perjalananku yang akan berlangsung sekitar 6 jam dari Kalimantan, akan terasa penuh tangisan terutama tanpa maaf dari sahabatku sendiri dan kuharap jika hal ini malah membuat Anne senang karena tidak melihatku, aku pun akan merasa lega juga.
Hari yang tidak kuharapkan terjadi tetap saja terjadi, tidak ada yang dapat menghentikan waktu dan detik yang terus berjalan maju, kurasa Anne tidak tahu kepergianku, atau mungkin saja ia masih marah, yah, akan kusimpan saja nomor teleponnya, mungkin... suatu hari nanti aku bisa mendengar suaranya yang lucu kembali dari Jogja.
Di pagi hari yang tampak cerah itu, hatiku masih kacau tanpa maaf dari Anne, meskipun demikian, aku tetap berangkat menuju ke bandara, tetapi entah aku sadar atau tidak, langkahku terasa amat ringan dan seolah ini sangat menyenangkan, aku pasti benar-benar berkhayal saat itu! Apalagi ketika aku sudah di dalam ruang tunggu, aku melihat Anne berlari menuju ke arahku, pasti ini adalah khayalan tingkat tinggi.
Tetapi... ia mengetuk kaca di hadapanku dengan air matanya yang berlinang, aku segera tersadar dan segera saja aku mengetuk kaca itu kembali “Anne?” Tanyaku, tetapi suaraku tidak dapat ia dengar, dan pada akhirnya ia meniup kaca dan menuliskan satu kata yang tampak buram “Maaf” mungkin itulah yang ia tulis, aku pun hanya bisa mengangguk, kemudian ia mengeluarkan kertas bertuliskan “Aku sayang kamu selamanya” dan itulah moment paling berharga dalam hidupku, tak hentinya kupandangi tulisan itu hingga nomor pesawatku terdengar dan... inilah saatnya aku masuk pesawat, aku hanya bisa melambai pada Anne yang masih berdiri di sana dengan kertas itu hingga ia lenyap dibalik kerumunan.
Kuharap kita akan selalu bersama Anne, atau setidaknya, aku bisa mendengar suaramu di Jogja yang damai ini...

by: Kristina Andita Pradani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar